Imam Khomaeni

Sejak usia 17 tahun, Ayatullah Khamenei telah memulai pendidikan bahtsul kharij dibidang fiqh dan ushul di bawah bimbingan seorang marja’ besar waktu itu, almarhum Ayatullah al-Uzhma Milani. Pada tahun 1958, dengan maksud untuk menziarahi berbagai tempat suci di Irak, beliau bertolak menuju Najaf Asraf (Irak). Di sana, beliau mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai pelajaran bahtsul kharij dibawah bimbingan langsung para mujtahid besar Hawzah Najaf, seperti almarhum Muhsin al-Hakim, Sayyid Abul Qosim al-Khu’i, Sayyid Mahmud Syahrudi, Mirza Baqir Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza Hasan Bujnuwardi. Setelah melihat kecocokan situasi belajar-mengajar dan berbagai bentuk penelitian, maka beliau bermaksud untuk menetap disana. Akan tetapi,  ayah beliau tidak mengizinkannya sehingga beberapa saat setelah bermukim di sana beliau pun kembali ke Masyhad.”

 

 

 

Bila mencari seseorang seperti Sayyid Khamenei yang sangat berpegang teguh pada Islam dan memiliki jiwa pengabdian yang tinggi dan landasan hatinya adalah untuk mengabdi kepada masayarakat ini, niscaya Anda tidak akan mendapatkan orang seperti dia. Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya.” (Imam Khomeini ra)[1]

Pemimpin Besar Ayatullah Sayyid Ali al-Khamenei adalah putra kedua Hujjatul Islam wal Muslimin Sayyid Jawad al-Hussaini al-Khamenei. Beliau dilahirkan pada tanggal 28 shafar 1358 (1940 M). Kehidupan ayah beliau-sebagaimana lazimnya kehidupan para ruhaniawan dan pengajar ilmu agama-sangatlah sederhana. Hal itu tidak terlepas dari dukungan istri dan anak-anaknya yang juga memiliki jiwa sederhana dan selalu merasa cukup (qana’ah) yang kerap ia ajarkan kepada mereka.

Tentang kediaman Ayahanda dan keluarganya, Sayyid Ali berkisah,”Dalam rumah itu saya dilahirkan dan tinggal bersama mereka hingga menginjak usia empat atau lima tahun. Luas rumah kami berkisar antara 60 hingga 70 meter persegi terletak di pemukiman miskin di salah satu sudut kota Masyhad. Rumah itu hanya memiliki satu kamar dan satu ruang bawah tanah (sirdab) yang gelap dan pengap. Karena ayah saya seorang ulama dan tempat rujukan masyarakat, para tamu pun sering berkunjung ke rumah. Acapkali karena jumlah tamu yang datang sangat banyak, kami harus pindah sementara ke ruang bawah tanah itu hingga para tamu pulang. Suatu saat, ayah mampu membeli sepetak tanah kosong di samping rumah dan membangunnya buat kami. Sejak itulah, kami memiliki tiga kamar.”[2]

Kendati Pemimpin Besar Revolusi ini dibesarkan dalam kelurga kurang mampu tetapi beliau terdidik dengan baik sehingga memiliki jiwa keruhaniawanan dan sosial yang  tinggi.  Semenjak usia empat tahun, beliau beserta kakak beliau, Sayyid Muhmammad, telah memulai masa pendidikannya. Pada usia tersebut, mereka berdua mulai mempelajari al-Quran. Lalu, dua  bersaudara tersebut  memasuki pendidikan formal sekolah dasar (SD) di salah satu sekolah Islam yang baru didirikan bernama Ta’lim-e Dinayat hingga menyelesaikan sekolah menengah pertama.

 

Pengalaman di Hawzah Ilmiah

Sewaktu masih belajar di sekolah menengah atas (SMU), beliau pun telah memulai mempelajari kitab Jami’al Muqaddimat beserta nahwau dan saharaf. Setelah itu, belaiu melanjutkan pendidikan di Hawzah Ilmiah dibimbing langsung oleh ayah belaiu sendiri dan para staf pengajar yang lain saat itu.

Adapun kenapa beliau memasuki pendidikan di Hawzah Ilmiah dan memilih untuk  menjadi seorang ruhaniawan, beliau berkata, “Penyebab utama kenapa saya memilih jalan tersebut karena saya tertarik dengan cahaya keruhanian ayah saya. Sementara itu, ibu saya pun merasa senang dan banyak memberi semangat kepada saya untuk hal itu. [3]

Beliau banyak mempelajari berbagai buku sastra Arab seperti Jami’ al-Muqaddimat, Suyuti, dan Mughi yang dibimbing langsung oleh guru yang aktif mengajar di dua madrasah, Sulaiman Khan dan Nawab, sementara ayah beliau pun selalu memantau perkembangan putea-putrinya. Oleh karena itu, Sayyid Ali Khamenei mempelajari kitab Ma’alim, Syara’i al-Islam, dan Syarh al-Lum’ah dibawah pengawasan langsung ayah beliau dan sempat beberapa saat dibimbing Mirza Mudarris Yazdi. Sementara itu kitab Rasa’il dan Makasib beliau pelajari langsung dari Syeikh Hasyim Qazwini. Kitab fiqih dan ushul jenjang pertengahan (sathah) hawzah yang lain beliau pelajari dari ayah beliau sendiri.

Jenjang pertengahan (sathah) dalam pendidikan hawzah berhasil beliau selesaikan dengan relatif singkat (kurang lebih lima setengah tahun) dan dengan hasil yang menakjubkan. Ayah beliau sangat memiliki peran penting dalam keberhasilan beliau dalam melalui berbagai jenjang pendidikan hawzah.

Di bidang ilmu logika dan filsafat, beliau mempelajari kitab al-Manzhumah karya Sabzawari dibawah bimbingan almarhum Mirza Jawad Agha Tehrani. Sementara itu, kitab-kitab lainnya dibawah bimbingan almarhum Syeikh Ridha Aisi.

 

Di Hawzah Najaf

Sejak usia 17 tahun, Ayatullah Khamenei telah memulai pendidikan bahtsul kharij dibidang fiqh dan ushul di bawah bimbingan seorang marja’ besar waktu itu, almarhum Ayatullah al-Uzhma Milani. Pada tahun 1958, dengan maksud untuk menziarahi berbagai tempat suci di Irak, beliau bertolak menuju Najaf Asraf (Irak). Di sana, beliau mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai pelajaran bahtsul kharij dibawah bimbingan langsung para mujtahid besar Hawzah Najaf, seperti almarhum Muhsin al-Hakim, Sayyid Abul Qosim al-Khu’i, Sayyid Mahmud Syahrudi, Mirza Baqir Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza Hasan Bujnuwardi.

Setelah melihat kecocokan situasi belajar-mengajar dan berbagai bentuk penelitian, maka beliau bermaksud untuk menetap disana. Akan tetapi,  ayah beliau tidak mengizinkannya sehingga beberapa saat setelah bermukim di sana beliau pun kembali ke Masyhad. [4]

 

Di Hawzah Qom

Ayatullah Khamenei mempelajari jenjang pendidikan tingkat tinggi bahtsul kharij di bidang ushul, fikih, dan filsafat semenjak tahun 1943 hingga 1959 di kota suci Qom di bawah bimbingan langsung tokoh-tokoh utama hawzah pada saat itu, seperti Ayatullah al-Uzma Burujurdi, Imam Khomeini, Syeikh Murtadha al-Hairi Yazdi, dan Allamah Thaba’tabai.

Pada tahun 1965, dari surat-menyurat yang beliau lakukan dengan ayah beliau, akhirnya beliau mengetahui bahwa salah satu mata ayah beliau buta disebabkan sakit mata. Hal tersebut menyebabkan beliau prihatin sehingga bimbang antara memilih tinggal di Qom untuk melanjutkan pelajaran di  Hawzah dengan berbagai keagungannya atau memilih kembali ke Masyhad untuk menjaga dan merawat ayah beliau.

Akhirnya, Ayatullah al-Uzhma Khamenei memutuskan demi mendapatkan keridahaan Illahi untuk meninggalkan kota suci Qom menuju Masyhad demi merawat ayah beliau. Dalam mengenang hal tersebut beliau berkata,Selanjutnya, saya menuju Masyhad. Selama berada di sana, saya mendapatkan taufik Allah yang berlimpah sehingga tetap bisa menjalankan kewajiban dan pekerjaan saya. [5]

Ayatullah al-Uzma Khamenei telah memilih jalan terbaik dari dua arah yang beliau hadapi walaupun sebagian para pengajar dan sejawat beliau menyesalkan keputusan beliau yang terlalu dini untuk meninggalkan hawzah di Qom. Mereka beranggapan bila beliau tetap tinggal dan menetap di Qom, niscaya beliau akan menjadi lebih baik di masa mendatang. Akan tetapi, waktu telah membuktikan bahwa apa yang beliau pilih adalah tepat dan takdir illahi telah menetapkan sesuatu yang lain dan lebih baik dari apa yang mereka sangka. Sulit memperkirakan bahwa seorang pemuda berusia 25 tahun yang memiliki potensi besar meninggalkan kota suci Qom menuju Masyhad untuk mendapat ridha Illahi dan untuk berkhidmat kepada kedua orang tuanya setelah 25 tahun kemudian menjadi pemimpin atas segala urusan kaum Muslimin (wali amr al-muslimin).

Selama menetap di Masyhad, beliau tidak meninggalkan pelajarannya, kecuali pada hari-hari libur, waktu berjuang melawan razim Pahlevi, saat dipenjara, atau sedang berpergian. Hingga tahun 1968, secara resmi pelajaran-pelajaran beliau di bidang fikih dan ushul berada di bawah bimbingan guru-guru besar hawzah Masyhad, khususnya Ayatullah Milani dan terus berlanjut semenjak tahun 1965. Selama tinggal di Masyhad, selain belajar dan berkidmat kepada ayah dan ibunya yang telah lanjut usia dan sakit-sakitan, beliau juga sibuk mengajar fikih, ushul, dan berbagai pengetahuan agama kepada para santri muda  dan mahasiswa.[6]

 

Kiprah dalam Arena Politik

Ayatullah Khamenei mengaku bahwa dirinya adalah, “Salah satu murid Imam Khomeini ra di bidang fikih, ushul, politik, dan revolusi.”[7] Akan tetapi bara politik, pergerakan, dan permusuhan terhadap thaghut beliau peroleh pertama kali dari Sayyid Mujtaba Nawab Shafawi, seorang mujahid besar yang gugur di jalan Islam. Hal itu sangat melekat di hati sanubari beliau. Sayyid Nawab Shafawi pada tahun 1953 bersama sejumlah teman seperjuangannya datang ke Masyhad dan berceramah di madrasah Sulaiman Khan dengan penuh semangat perjuangan dan membangkitkan gairah juang  untuk menghidupkan kembali Islam dan menegakkan hukum Tuhan dengan menjelaskan dan menyingkapkan tipu daya rezim Reza Pahlevi dan Inggris dalam memperdaya bangsa Iran.

Saat itu, Ayatullah Khemenei adalah salah satu santri muda di madrasah Sulaiman Khan tersebut dan sejak saat itu, ceramah Sayyid Nawab Shafawi sangat berpengaruh pada diri beliau. Beliau berkata,”Sejak saat itu, semangat dan bara revolusi Islam telah berkobar pada diri saya, berkat Nawab Shafawi dan tidak saya ragukan lagi bahwa Nawab Shafawi-lah yang telah menyulut bara tersebut dalam jiwa saya.”[8]

 

Berjuang bersama Imam Khomeini dan Penagkapan Pertama

Pada tahun 1963, Ayatullah Khamenei datang kembali ke kota Qom untuk mendampingi Imam Khomeini ra memulai gerakan revolusi dalam menentang rezim Muhammad Reza Pahlevi, anak emas Amerika. Dalam memasuki ajang percaturan politik selama 16 tahun yang penuh dengan berbagai macam pahit dan getir perjuangan, seperti penyiksaan, penahanan, dan pengasingan, beliau sama sekali tidak merasa takut akan segala bahaya yang terus mengancam.

Di bulan Muharram pada tahun 1963, untuk pertama kalinya Imam Khomeini ra memberikan mandat kepadanya agar menyampaikan pesan untuk Ayatullah Milani dan segenap ulama di propinsi Khurasan berkenaan dengan agenda dakwah para ruhaniawan pada bulan Muharram untuk memporak-porandakan sistem politik rezim Pahlevi, sebagai antek-antek Amerika, dan menjelaskan situasi terakhir Iran serta segala kejadian yang terjadi di kota suci Qom.

Akhirnya, ia pun berhasil melaksanakan mandat tersebut dengan baik. Kemudian beliau bertolak menuju kota Birjan untuk bertabliq. Di sana, beliau menyampaikan pesan-pesan Imam Khomeini kepada masyarakat setempat agar menentang sistem politik rezim Pahlevi dukungan Amerika.

Pada hari ke-9 bulan Muharram (tahun 1964), beliau ditahan. Setelah satu malam mendekam di sel, beliau dibebaskan dengan syarat, tidak diperbolehkan naik mimbar lagi dan (akan) terus diawasi.

Setelah peristiwa berdarah 15 khurdad (di Qom), beliau ditangkap kembali dan dibawa dari Birjan ke Masyhad lalu diserahkan ke tahanan militer setempat. Di situ, beliau merasakan berbagai bentuk penyiksaan dan gangguan yang amat menyakitkan.[9]

 

Penangkapan Kedua

Pada tahun 1966, bertepatan dengan Ramadhan 1383, Ayatullah Khamenei beserta beberapa rekan beliau, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, berangkat menuju kota Kerman selama 2 atau 3 hari. Di sana, beliau melaksanakan berbagai kegiatan, seperti  ceramah di berbagai mimbar dan berjumpa dengan para ulama dan pelajar setempat. Kemudian, beliau beserta rekan-rekan menuju kota Zahedan. Di sana ceramah-ceramah beliau membangkitkan dan mengobarkan semangat-khususnya yang terjadi pada tanggal  6 Bahman, hari peringatan pemilu dan referendum buatan Syah Iran yang sangat mendapat perhatian khusus masyarakat. Pada tanggal 15 Ramadhan, bertepatan dengan hari lahirnya Imam Hasan al- Murtadha as, keberanian beliau untuk terang-terangan mengkritik dan mengecam sistem politik rezim Syah bangkit, yang menyebabkan, pada malam  harinya, beliau ditangkap oleh dinas intelejen rezim Syah (SAVAK) lantas dibawa ke Tehran dengan memakai pesawat terbang. Disana, beliau disekap dalam sel konsentrasi di penjara Kazal Kaleh selama 2 bulan. Berbagai hinaan dan siksaan beliau rasakan  di sel tersebut.

 

Penangkapan Ketiga dan Keempat

Berbagai kelas  di bidang tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman yang beliau bentuk di Tehran dan Masyhad disambut dan dihadiri oleh banyak kalangan muda yang berjiwa revolusioner. Hal itu membangkitkan kemarahan dinas intelejen SAVAK sehingga  beliau terus menerus diintai dan dimata-matai.[10]

Mengenai hal  tersebut, maka pada tahun 1967, beliau tinggal secra diam-diam di kota Tehran. Akan tetapi, sebelum kemudian (1968 M), beliau tertangkap lalu dipenjara.

Disebabkan hal yang sama pula, yaitu melakukan berbagai aktivitas seperti melangsungkan berbagai aktivitas seperti melangsungkan berbagai pertemuan, majlis-majlis taklim, dan melakukan bermacam-macam kegiatan dalam rangka pencerahan ilmu dan reformasi pemikiran, akhirnya beliau ditangkap dan dipenjara kembali. Hal tersebut terjadi pada tahun 1971.

 

Penangkapan Kelima

Berkenaan dengan penangkapan  kelima, marilah kita simak tulisan beliau sendiri.

“Sejak tahun 1970, telah ditengarai adanya gerakan bersenjata bawah tanah. Para petugas keamanan rezim- dengan berbagai bukti- tidak meragukan lagi keterlibatan saya dalam gerakan tersebut. Akhirnya pada tahun 1972, saya dijebloskan kembali ke dalam penjara. Di dalam penjara kali ini, betul-betul tampak jelas perlakuan para SAVAK terhadap para tapol di penjara Aksara, khususnya setelah mereka melihat adanya hubungan yang jelas dan tidak dapat dipisahkan antara gerakan bersenjata dengan pusat-pusat pencerahan pemikiran dan dakwah Islam, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan pengajian saya di Masyhad dan Tehran. Setelah saya dibebaskan, pengajian tafsir dan ideologi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi bertambah besar dan banyak pengikutnya.[11]

 

Penangkapan Keenam

Di antara tahun 1972-1975, pengajian tafsir dan ideologi di Masyhad dilakukan di tiga tempat: Mesjid Karamat, Mesjid Imam Hasan, dan Mesjid Mirza  Ja’far yang dihadiri oleh ribuan orang yang haus akan ceramah beliau, khususnya dari kalangan pemuda dan pelajar yang tercerahkan dan revolusioner. Begitu juga  pengajian Nahjul Balaghah beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa, bahkan dibukukan dalam sebuah diktat dengan judul “Pancaran Cahaya Nahjul Balaghah”. Para pemuda dan pelajar  yang hadir memperbanyak diktat tersebut dan membawanya ke berbagai desa terdekat dan terjauh untuk disampaikan kepada masyarakat, sehingga mereka tercerahkan dengan pemikiran-pemikiran penting Nahjul Balaghah dan akhirnya, mereka siap untuk melaksanakan sebuah revolusi Islam yang besar.

Oleh karena itulah, pada bulan januari 1975, beberapa personal SAVAK datang ke rumah beliau di Masyhad. Dengan kejam, mereka mengerebek rumah, menangkap beliau, dan menyita banyak tulisan serta diktat-diktat beliau.

Inilah pengangkapan keenam dan sekaligus masa-masa sulit yang penuh kekejaman dan penyiksaan, yang beliau hadapi selama satu tahun di dalam sel penjara, sehingga tak seorang pun, menurut beliau, akan  memahami kehebatan penyiksaan itu kecuali mereka yang melihat dengan kepala sendiri.

Setelah dibebaskan, beliau kembali ke Masyhad dan melanjutkan pengajian, kegiatan keagamaan, dan kegiatan revolusioner lainnya tetapi pengajian terbuka dan besar sudah tidak dapat dilakukan.

 

Masa Pengasingan

Rezim Pahlevi pada akhir 1977 menangkap kembali beliau dan mengasingkannya ke kota Iransyahr selama tiga tahun tetapi, pada pertengahan tahun 1978, perlawanan rakyat revolusioner Iran mencapai puncaknya. Maka, beliau akhirnya dibebaskan dan kembali ke Masyhad untuk bergabung di garis depan dengan para pejuang lainnya melawan para personal SAVAK. Akhirnya dicapailah hasil manis perjuangan yang penuh dengan penyiksaan, rasa pahit, dan melelahkan selama lima belas tahun tersebut dengan kemenangan revolusi Islam dan jatuhnya pemerintahan rezim Pahlevi yang diktator serta berdirinya pemerintahan Islam.

 

Di Ambang Kemenangan

Di ambang kemenangan revolusi Islam, sebelum kembalinya Imam Khomeini dari Paris ke Tehran, beliau ikut serta dalam pendirian Syura iy Inqilab Islami (Komite Revolusi Islam) atas perintah Imam Khomeini bersama Syahid Muthahhari, Syahid Behesyti, Hasysemi Rafsanjani, dan Musawi Ardebeliy. Pesan khusus Imam Khomeini kepada beliau disampaikan oleh Syahid Muthahhari dan, setelah diterima, beliau langsung meninggalkan Masyhad menuju Tehran.

 

Pasca-Revolusi

Ayatullah Khamenei setelah revolusi Islam, seperti sebelumnya, dengan penuh semangat dan kegigihan yang tidak ada bandingannya, terjun dalam kegiatan-kegiatan penting keislaman dalam rangka mendekatkan rakyat kepada tujuan-tujuan revolusi.Dalam tulisan  yang singkat ini, akan disebutkan beberapa kegiatan dan tugas (taklif syar’i) penting yang ia emban, antara  lain:

1. Pendiri Partai Republik Islam (Hezb eJomhure e Islami) dengan bekerjasama bersama orang–orang yang satu visi dengan beliau, seperti Syahid Behsyti, Syahid Bahonar, Musawi Ardebeliy, dan Hasyemi Rafsanjani pada tahun 1980 M.

2. Deputi Pertahanan pada tahun 1980 M.

3. Pembina Angkatan Bersenjata Pengawal Revolusi (Pasdar) tahun 1980 M.

4. Imam dan Khatib Jum’at tahun 1980 M.

5. Utusan Imam Khomeini ra pada Komite Tinggi Pertahanan (syure ‘ali difa’) pada tahun 1981 M.

6. Utusan Imam Khomeini untuk propinsi Sistan Balicistan dan berhasil menyelesaikan berbagai konflik serta problem politik pada Maret 1980 M.

7. Anggota Legislatif kota Tehran di Dewan Perwakilan pada tahun 1980 M.

8. Ikut hadir dalam pakaian militer pada “pertempuran yang dipaksakan terhadap Iran” pada tahun 1981 M melawan agresor Irak yang didukung oleh adidaya Amerika Serikat dan Uni Sovyet saat itu.

9. Usaha teror yang tidak berhasil oleh kaum munafik pada bulan Juli 1982 M di Mesjid Abu Dzar, Tehran.

10. Presiden Republik Islam Iran menggantikan Muhammad Ali Rajai, presiden kedua Iran, yang gugur pada September 1981 M dengan meraih lebih dari 16 juta suara dan dengan pengesahan Imam Khomeini. Kemudian pada tahun 1985 M, beliau terpilih lagi untuk jabatan hingga tahun 1989 M.

11. Ketua Komite Revolusi Kebudayaan (Syura ye Inqilabe Farha’gi) pada tahun 1981 M.

12. Kedua Dewan Pertimbangan Agung (Majma’ Tasykhisy Maslahat) pada tahun 1982 M.

Semenjak tanggal 4 Juni 1989 M, setelah wafatnya Imam Khomeini ra, beliau dipilih oleh Dewan Pakar (Majlis e Khobregan) sebagai Pemimpin Spiritual Tertinggi Islam Iran dan wali amr al-muslimin.

Posted on December 1, 2010, in para imam. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment